Minggu, 21 Oktober 2012

Simbah; Kenangku Pada Tuturmu


Libur kuliah selalu menggembirakan, pun untukku, yang selalu rindu kembali ke rumah sederhana kami. Rumah dusun di pinggiran sawah yang sejuk, yang menawarkan aroma alam tanpa biaya mahal, kerap membawa rindu hanya dengan membayangkannya saja.

Liburan selalu penuh dengan kunjungku ke tempat simbah, tak jauh, hanya 500m jaraknya dari rumah kami, cukup berjalan kaki, atau mengayuh sepeda kecil sembari menikmati suara burung yang tiada lelah berkicau merdu.

Simbah, sosok yang hingga kini masih hangat tersimpan di hati kami. Simbah yang sederhana nan bersahaja, yang tidak banyak pinta, yang tak sekalipun menggurat amarah di wajahnya. Simbah yang selalu baik pada semua cucunya, tak kenal beda.

Pada kunjung setiap pagiku mengantar makanan untuk simbah, sering diakhiri dengan percakapan yang selalu lama, selalu asyik saling bercerita. Cerita masa muda beliau dituturkan dengan pelan, tapi tidak mengurangi kesan semangat beliau saat itu. Bukan cerita muluk, beliau kerap berkisah setiap pagi berjalan jauh ke pasar, menggendong sekeranjang sayuran, kanan kiri membawa tas belanjaan berisi jagung atau kelapa, hasil bumi di sekitar rumah, lagi-lagi untuk di jual. “Hasilnya tidak banyak, Nduk, Alhamdulillah cukup buat makan sehari-hari”, kenangnya.

Ada 10 anak yang Simbah punya, Bapakku, dan kakak adiknya. Semua itu tidak lantas membuat Simbah berkeluh, meski penuh peluh. Tidak lantas Simbah mengadu resah pada rizki yang seadanya. Simbah terus berupaya, berladang, berdagang, semata agar roda kehidupan anak-anaknya terus berputar.

Simbahku; kebersahajaanmu ingin aku tiru, menerapkan pada tiap laku.

Semoga Simbah selalu tersenyum di sisi-Nya, gurat senyum yang masih kurasa teduhnya saat memejam mata.

Al-fatihah…

Na’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar