Libur kuliah
selalu menggembirakan, pun untukku, yang selalu rindu kembali ke rumah
sederhana kami. Rumah dusun di pinggiran sawah yang sejuk, yang menawarkan
aroma alam tanpa biaya mahal, kerap membawa rindu hanya dengan membayangkannya
saja.
Liburan selalu
penuh dengan kunjungku ke tempat simbah, tak jauh, hanya 500m jaraknya dari
rumah kami, cukup berjalan kaki, atau mengayuh sepeda kecil sembari menikmati suara burung yang tiada lelah berkicau merdu.
Simbah, sosok
yang hingga kini masih hangat tersimpan di hati kami. Simbah yang sederhana nan
bersahaja, yang tidak banyak pinta, yang tak sekalipun menggurat amarah di
wajahnya. Simbah yang selalu baik pada semua cucunya, tak kenal beda.
Pada kunjung
setiap pagiku mengantar makanan untuk simbah, sering diakhiri dengan percakapan
yang selalu lama, selalu asyik saling bercerita. Cerita masa muda beliau
dituturkan dengan pelan, tapi tidak mengurangi kesan semangat beliau saat itu. Bukan
cerita muluk, beliau kerap berkisah setiap pagi berjalan jauh ke pasar,
menggendong sekeranjang sayuran, kanan kiri membawa tas belanjaan berisi jagung
atau kelapa, hasil bumi di sekitar rumah, lagi-lagi untuk di jual. “Hasilnya
tidak banyak, Nduk, Alhamdulillah cukup buat makan sehari-hari”, kenangnya.
Ada 10 anak
yang Simbah punya, Bapakku, dan kakak adiknya. Semua itu tidak lantas membuat
Simbah berkeluh, meski penuh peluh. Tidak lantas Simbah mengadu resah pada
rizki yang seadanya. Simbah terus berupaya, berladang, berdagang, semata agar
roda kehidupan anak-anaknya terus berputar.
Simbahku;
kebersahajaanmu ingin aku tiru, menerapkan pada tiap laku.
Semoga Simbah
selalu tersenyum di sisi-Nya, gurat senyum yang masih kurasa teduhnya saat
memejam mata.
Al-fatihah…
Na’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar